Mengapa
seseorang dapat terserang penyakit? Tentu jawaban paling umum, itu adalah
kehendak Tuhan, dan penyakit itu pada akhirnya menjadi suatu cobaan yang harus
dilalui dengan ikhtiar pengobatan, dan kesabaran. Tetapi, dalam dunia
kesehatan, paradigma sehat dan sakit itu tidak lepas dari kontrol hendak
manusia itu sendiri, bagaimana pun, jika memang kita mencegah diri kita dengan
hidup sehat, niscaya peluang terserang suatu penyakit akan semakin sedikit.
Tapi namanya manusia gudangnya khilaf, ya. Seringkali tanpa disadari kemudian
kita pun, jatuh sakit. Di tengah ketidaksempurnaan manusia itu, tidak sedikit
dari kita malah bersikap tidak sepatutnya, sehingga membentuk suatu stigma
buruk pada mereka yang jatuh sakit, apalagi mereka yang mengidap penyakit, yang
keras, dan sifatnya menular, walaupun faktanya dapat disembuhkan juga, misalnya
pada kasus pasien Tuberkulosis. Padahal, semua sangat rentan terkena, apalagi
ada yang namanya laten TB, yang bisa menjadi bom waktu, di mana kalau kita
lengah, menjadi TB aktif di kemudian hari.
Tidak jarang ditemui, pasien TBC,
yang karena kekurangpekaan masyarakat di sekitarnya, yang sebenarnya mungkin
saja menaruh rasa kasihan, tetapi karena kekurangtahuan mereka terhadap suatu
penyakit, menjadikan mereka mengambil jarak dengan si pasien, tidak hanya
sampai di situ, kadang malah kemudian menjadikan bahan omongan begini dan
begitu. Hal itu jelas sangat tidak patut dilakukan, apalagi dalam hal
penyelamatan pasien Tuberkulosis agar kembali sehat membutuhkan dukungan tidak
hanya moriil, materiil, tetapi aksi nyata pendampingan dan pengawasan yang
intensif, khususnya dari lingkar keluarga terdekatnya. Meskipun tidak dapat
ditampik, kadang stigma negatif itu malah dirawat dan dikembangkan oleh mereka
yang memiliki tertalian darah dengan si pasiennya. Sungguh ironis!
Mengubah pemikiran seseorang
terhadap sesuatu hal memang nggak mudah, tetapi manusia adalah makhluk yang
dapat dididik, dilatih, untuk menjadi lebih baik, hanya saja memang membutuhkan
proses. Perlu ekstra keras bagi mereka yang memang memiliki tanggungjawab
menyebarkan pengetahuan, agar mengentaskan pandangan tidak sewajarnya terhadap
pasien TB. Sehingga, masyarakat disekitarnya tidak hanya berdoa kemudian
berpangku tangan, tetapi tetap terus berdoa, dan berusaha bersama-sama, agar
pasien dapat sembuh seperti sedia kala, dan apa yang diidapnya tidak menyebar
kepada yang lainnya. Upaya ini jelas mengajak kita ke sifat dasar manusia
menurut banyak litelatur yang saya baca, yakni sifat kegotongroyongan. Hal itu
seharusnya tidak hanya dalam bersih-bersih lingkungan dari sampah, walaupun
sampah bisa jadi biang kembangnya bibit penyakit, gotong royong dalam “mengentaskan”
penyakit yang sudah teridap oleh seseorang—dengan jalan menyelamatkannya hingga
sembuh—juga menjadi tanggungjawab bersama. Karena lingkungan adalah kita.
Terkait masalah stigma seseorang
terhadap orang lain, khususnya terhadap orang yang menderita suatu penyakit,
memang tidak lepas dari masalah kesadaran yang belum tumbuh dewasa, egoisme
dari individualisme yang dikuduskan. Sudah saatnya, kolektifisme dalam hal
menuju masyarakat yang sehat menjadi harapan bersama, dan satu langkah dalam
menggapainya haruslah kita upayakan, sedini mungkin. Pasien yang mengidap
penyakit apapun, termasuk pasien TB, ialah juga manusia sama seperti kita yang
tengah sehat, maka sudah sewajarnya kita menaruh perhatian lebih kepada mereka
yang tengah mendapat cobaan maupun ujian dari Tuhan, karena penyikapan kita
terhadap sesuatu hal yang menimpah manusia lainnya, juga dipandang oleh Tuhan.
Tentu kita tidak ingin menjadi sosok yang suka mendiskriminasi orang, bukan?
Hanya karena stigma buruk yang melekat pada mereka, lantaran mereka mengidap
suatu penyakit, yang notabene itu adalah cobaan dari Tuhan, yang pada masa yang
entah kapan, bisa saja juga menimpah siapa saja yang kini tengah sehat.
Maka itu, lebih baik
menumbuhkembangkan semangat positif, daripada memupuk stigma negatif, yang
nggak ada manfaatnya. Motivasi yang baik, tentu akan mengembangkan hal-hal yang
baik. Kita sendiri sebagai manusia jelas jangan terpengaruh oleh stigma dalam
hal membantu orang lain yang memang tengah sakit. Dan bagi siapapun yang tengah
mengalami suatu penyakit, misalnya pasien TB, janganlah putus asa, apalagi
merasa rendah diri, karena stigma yang salah, yang tidak dipungkiri masih
berkembang di masyarakat. Kita harus sama-sama membuktikan, bahwa kita semua
dapat saling menyelamatkan diri dari cengkaraman maupun ancaman penyakit
Tuberkulosis. Agar lingkungan kita bebas TB, tentu kita harus saling meringankan
beban, menuju lingkungan yang sehat itu. Jangan malah hanya mengutuksumpahi
kegelapan, lebih baik menyalakan lentera, bukan? Apalagi kita ketahui, bahwa
kian kemari, dunia kesehatan terus berinovasi melahirkan terobosan-terobosan
terapi penyembuhan yang semakin jitu, sehingga gerbang kesembuhan semakin dekat
bagi para pasien TB. Dan langkah pemerintah yang menggratiskan obat TB adalah
juga kabar gembira, dan menjadi sesuatu hal yang patut disyukuri, baik oleh
yang sehat, terlebih bagi mereka yang sakit, agar semakin termotivasi untuk
sembuh! Dan sudah menjadi kewajiban mereka yang tahu, untuk memberitahu dan
mengajak yang tidak tahu. Kita harus memberikan pengertian kepada mereka yang
masih melakukan diskriminasi serta meyakini stigma buruk terhadap pasien TB.
Bahwa apa yang dilakukannya itu tidaklah patut. Mari kita berkontribusi, bagi sesama,
yang tidak lain berarti itu untuk kebaikan kita juga pada akhirnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar