Proud of

Proud of

Minggu, 06 Juli 2014

Kita, dan Upaya Mengubah Stigma dan Diskriminasi Terhadap Pasien TB



             Mengapa seseorang dapat terserang penyakit? Tentu jawaban paling umum, itu adalah kehendak Tuhan, dan penyakit itu pada akhirnya menjadi suatu cobaan yang harus dilalui dengan ikhtiar pengobatan, dan kesabaran. Tetapi, dalam dunia kesehatan, paradigma sehat dan sakit itu tidak lepas dari kontrol hendak manusia itu sendiri, bagaimana pun, jika memang kita mencegah diri kita dengan hidup sehat, niscaya peluang terserang suatu penyakit akan semakin sedikit. Tapi namanya manusia gudangnya khilaf, ya. Seringkali tanpa disadari kemudian kita pun, jatuh sakit. Di tengah ketidaksempurnaan manusia itu, tidak sedikit dari kita malah bersikap tidak sepatutnya, sehingga membentuk suatu stigma buruk pada mereka yang jatuh sakit, apalagi mereka yang mengidap penyakit, yang keras, dan sifatnya menular, walaupun faktanya dapat disembuhkan juga, misalnya pada kasus pasien Tuberkulosis. Padahal, semua sangat rentan terkena, apalagi ada yang namanya laten TB, yang bisa menjadi bom waktu, di mana kalau kita lengah, menjadi TB aktif di kemudian hari.
            Tidak jarang ditemui, pasien TBC, yang karena kekurangpekaan masyarakat di sekitarnya, yang sebenarnya mungkin saja menaruh rasa kasihan, tetapi karena kekurangtahuan mereka terhadap suatu penyakit, menjadikan mereka mengambil jarak dengan si pasien, tidak hanya sampai di situ, kadang malah kemudian menjadikan bahan omongan begini dan begitu. Hal itu jelas sangat tidak patut dilakukan, apalagi dalam hal penyelamatan pasien Tuberkulosis agar kembali sehat membutuhkan dukungan tidak hanya moriil, materiil, tetapi aksi nyata pendampingan dan pengawasan yang intensif, khususnya dari lingkar keluarga terdekatnya. Meskipun tidak dapat ditampik, kadang stigma negatif itu malah dirawat dan dikembangkan oleh mereka yang memiliki tertalian darah dengan si pasiennya. Sungguh ironis!
            Mengubah pemikiran seseorang terhadap sesuatu hal memang nggak mudah, tetapi manusia adalah makhluk yang dapat dididik, dilatih, untuk menjadi lebih baik, hanya saja memang membutuhkan proses. Perlu ekstra keras bagi mereka yang memang memiliki tanggungjawab menyebarkan pengetahuan, agar mengentaskan pandangan tidak sewajarnya terhadap pasien TB. Sehingga, masyarakat disekitarnya tidak hanya berdoa kemudian berpangku tangan, tetapi tetap terus berdoa, dan berusaha bersama-sama, agar pasien dapat sembuh seperti sedia kala, dan apa yang diidapnya tidak menyebar kepada yang lainnya. Upaya ini jelas mengajak kita ke sifat dasar manusia menurut banyak litelatur yang saya baca, yakni sifat kegotongroyongan. Hal itu seharusnya tidak hanya dalam bersih-bersih lingkungan dari sampah, walaupun sampah bisa jadi biang kembangnya bibit penyakit, gotong royong dalam “mengentaskan” penyakit yang sudah teridap oleh seseorang—dengan jalan menyelamatkannya hingga sembuh—juga menjadi tanggungjawab bersama. Karena lingkungan adalah kita.
            Terkait masalah stigma seseorang terhadap orang lain, khususnya terhadap orang yang menderita suatu penyakit, memang tidak lepas dari masalah kesadaran yang belum tumbuh dewasa, egoisme dari individualisme yang dikuduskan. Sudah saatnya, kolektifisme dalam hal menuju masyarakat yang sehat menjadi harapan bersama, dan satu langkah dalam menggapainya haruslah kita upayakan, sedini mungkin. Pasien yang mengidap penyakit apapun, termasuk pasien TB, ialah juga manusia sama seperti kita yang tengah sehat, maka sudah sewajarnya kita menaruh perhatian lebih kepada mereka yang tengah mendapat cobaan maupun ujian dari Tuhan, karena penyikapan kita terhadap sesuatu hal yang menimpah manusia lainnya, juga dipandang oleh Tuhan. Tentu kita tidak ingin menjadi sosok yang suka mendiskriminasi orang, bukan? Hanya karena stigma buruk yang melekat pada mereka, lantaran mereka mengidap suatu penyakit, yang notabene itu adalah cobaan dari Tuhan, yang pada masa yang entah kapan, bisa saja juga menimpah siapa saja yang kini tengah sehat.
            Maka itu, lebih baik menumbuhkembangkan semangat positif, daripada memupuk stigma negatif, yang nggak ada manfaatnya. Motivasi yang baik, tentu akan mengembangkan hal-hal yang baik. Kita sendiri sebagai manusia jelas jangan terpengaruh oleh stigma dalam hal membantu orang lain yang memang tengah sakit. Dan bagi siapapun yang tengah mengalami suatu penyakit, misalnya pasien TB, janganlah putus asa, apalagi merasa rendah diri, karena stigma yang salah, yang tidak dipungkiri masih berkembang di masyarakat. Kita harus sama-sama membuktikan, bahwa kita semua dapat saling menyelamatkan diri dari cengkaraman maupun ancaman penyakit Tuberkulosis. Agar lingkungan kita bebas TB, tentu kita harus saling meringankan beban, menuju lingkungan yang sehat itu. Jangan malah hanya mengutuksumpahi kegelapan, lebih baik menyalakan lentera, bukan? Apalagi kita ketahui, bahwa kian kemari, dunia kesehatan terus berinovasi melahirkan terobosan-terobosan terapi penyembuhan yang semakin jitu, sehingga gerbang kesembuhan semakin dekat bagi para pasien TB. Dan langkah pemerintah yang menggratiskan obat TB adalah juga kabar gembira, dan menjadi sesuatu hal yang patut disyukuri, baik oleh yang sehat, terlebih bagi mereka yang sakit, agar semakin termotivasi untuk sembuh! Dan sudah menjadi kewajiban mereka yang tahu, untuk memberitahu dan mengajak yang tidak tahu. Kita harus memberikan pengertian kepada mereka yang masih melakukan diskriminasi serta meyakini stigma buruk terhadap pasien TB. Bahwa apa yang dilakukannya itu tidaklah patut. Mari kita berkontribusi, bagi sesama, yang tidak lain berarti itu untuk kebaikan kita juga pada akhirnya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar