"Together build a better health", itulah tajuk yang menjelma harapan segenap peserta dalam Nusantara Health Collaborative 2014 pada tanggal 7 - 8 Juni, di RIK UI, Depok. Pada saat itu yang menjadi studi kasus adalah masalah penyakit diabetes mellitus yang makin ke mari memang mengkhawatirkan, khususnya di kawasan urban, Depok. Prinsip-prinsip dari perlunya kolaborasi antar profesi kesehatan, menurutku juga sangat penting dalam pengendalian Tuberkulosis, tidak hanya diabetes mellitus. Mengingat, sebagai penyakit yang walaupun dapat disembuhkan, dikarenakan himpitan ekonomi serta ketidaktahuan dan ketidakpedulian, mengakibatkan TB menjadi momok yang sangat membahayakan bagi tingkat kematian dalam suatu negara. Belum lagi, beban yang akan diderita akibat merebaknya TB sangatlah besar dan kompleks, tidaknya hanya si penderita, tetapi juga negara, bahkan kita dapat pula terkena dampaknya, karena sifat dari penyakit yang satu ini memang menular.
Oleh karena itu, diperlukan peran seluruh ahli kesehatan, ataupun tenaga kesehatan, termasuk ranah yang aku geluti yakni ilmu gizi, ahli gizi jelas-jelas memiliki tanggungjawab moral, agar dapat mensukseskan program makanan yang bersifat HAB3 alias halal, aman, beragam, bergizi, dan berimbang. Untuk apa? Agar tercipta daya tahan atau imunitas yang prima. Bagaimana pun, pertahanan kesehatan yang paling utama bukanlah dari obat-obatan ataupun terapi, tetapi dari dalam tubuh sendiri. Tentu ini dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan diri kita agar tidak mudah terserang penyakit. Sebagaimana ada peribahasa, mencegah itu selalu lebih baik daripada mengobati, sekalipun obat TB itu kini memang sudah gratis!
Lalu menurutku, integrasi seluruh elemen masyarakat dalam pengendalian TB itu sangatlah penting, dalam hal ini, seluruh tenaga kesehatan termasuk dokter pun haruslah ikut andil dalam upaya pengendalian, misalnya dalam satuan terkecil layanan kesehatan masyarakat, sebaiknya dilakukan penyuluhan rutin dengan bekerjasama dengan pihak terkait, baik RT, RW, maupun kelurahan. Posyandu ataupun PKK, memiliki peran yang sentral, jika berintegrasi dengan institusi-intitusi pendidikan anak usia dini ataupun sekolah, agar anak-anak juga tahu tentang jenis-jenis penyakit serta bagaimana cara menghindarinya, belum lagi, biasanya kan anak-anak itu suka diantar oleh ibu-ibunya, secara tidak langsung mereka pun akan tersuluh.
Tentu saja, tidak hanya sebatas sosialisasi ataupun penyuluhan yang sifatnya mendidik, tetapi perlu juga kaderisasi masyarakat sekitar untuk menjadi tenaga pencari dan pengawas penderita TB, untuk selanjutnya membantu mereka dalam proses penyembuhan, termasuk juga memberikan semangat hidup, bahwa sakitnya akan sembuh, kalau segera dan teratur minum obat yang telah ditentukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten.
Dan tentu saja, keluarga sebagai satuan terkecil masyarakt, haruslah memperhatikan betul kesehatan keluarganya, dengan mengikuti program HAB3 seperti yang kumaksudkan di atas, lalu juga GHBSB atau gerakan hidup bebas serangga berbahaya, memperhatikan kebersihan lingkungan, jangan sampai menjadi sumber penyakit di mana memang tidak hanya TB yang menghantui kita, tetapi masih banyak penyakit lainnya. Namun, dalam hal ini, pengendalian TB butuh peran yang lebih besar oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pemerintah. Tentunya, dengan berprinsip bahwa lingkungan sekitar adalah kita, maka otomatis kita semua memiliki rasa yang saling keterkaitan, untuk itu berusaha bersama agar semua dapat sehat senantiasa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar