Proud of

Proud of

Rabu, 19 Maret 2014

Review: Dying To Be Me by Anita Moorjani

"Nyonya, kalau membaca catatan medis itu, mestinya Anda sudah mati!" (h. 170)

Begitulah ungkap Dr. Ko pascamembaca dokumen dari pasien bernama Anita Moorjani. Penderita kanker stadium 4B, yang sempat mati suri selama kurang lebih 30 jam-an, di mana setelah koma ia perlahan sadar, lebih menakjubkannya lagi, lambat laun kondisi kesehatannya membaik, padahal ia melakukan hal yang justru membahayakan; semisal tidak mau menggunakan alat bantu kesehatan dan obat-obatan kimia. Tetapi akhirnya, seberapa besar pun ia berusaha meyakinkan keluarga dan dokter bahwa kondisinya akan membaik dan memang jauh lebih baik dirasanya, pihak rumah sakit tetap menyarankan agar Anita Moorjani melakukan kemoterapi untuk memastikan bahwa kanker di tubuhnya memang sembuh total. Terlebih tentu, hal itu untuk memuaskan rasa penasaran para dokter atas fenomena yang jarang terjadi pada suatu kasus kanker, di mana pasien yang banyak fungsi organ tubuhnya sudah tidak baik berangsur membaik setelah cukup lama mengalami koma. Itu langkah dan kisah Anita Moorjani menjadi satu di antara banyak kisah mati suri atau near-death experience (NDE) tersendiri.

Anita Moorjani menulis memoirnya sendiri, ia merasakan dorongan bahwa ia harus menuliskan kisah mati surinya tersebut, banyak penerbit yang awalnya menolak kisahnya itu, hingga pada suatu masa ada yang mau menerbitkannya dan Anita Moorjani dipertemukan pula dengan seorang bernama Dr. Wayne W. Dyer yang memang sebelumnya sempat membaca suatu artikel tentang kisah Anita Moorjani sebelum ia menuliskannya dalam bentuk buku seperti foto di atas, dengan sub judul "Aku Mati Suri maka Kutemukan Diri Sejati" tidak selalu kemudian ia katakan suatu kewajiban, bahwa prasyarat menemukan diri sejati adalah dengan mengalami mati suri. Ini adalah suatu kisah yang berisikan pengalaman, dan seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik.

Anita Moorjani adalah seorang perempuan yang berkarir, lahir di Singapura dari keturunan India, keluarganya penganut Hindu yang taat tetapi toleran terhadap keyakinan lainnya, dan pada usia dua tahun pindah ke Hong Kong hingga sekarang. Anita Moorjani sebagai warga pendatang mengalami masa kecil yang berwarna, mulai dari aneka bahasa, budaya, maupun agama. Diceritakan olehnya, "Berbeda dari tradisi agama Hindu yang kupelajari di rumah, pendidikan formalku malah kudapatkan dari sekolah Katolik yang dikelola para suster." (h. 44). Anita Moorjani yang kala itu masih kecil, tidak jarang mendapatkan perlakukan yang tidak mengenakan dari teman-temannya yang Katolik, hingga singkat cerita Anita Moorjani pada suatu ketika selepas pulang sekolah bercerita kepada Ibunya, "Mama, teman-teman dan Suster Mary mengatakan, kalau aku mau masuk surga aku harus ke gereja setiap Minggu dan mempelajari Alkitab." (h. 46), sang Ibu pun pada akhirnya memberikan pengertian kepada sang anak, katanya, "... Agama itu hanyalah jalan untuk menggapai kebenaran. Dia hanyalah jalan. Dan semua punya jalannya sendiri-sendiri." Namun pada dasarnya sebagaimana umumnya orang tua, selalu mengharapkan anaknya seagama dengan mereka. Begitu pun yang terjadi pada Anita Moorjani, hingga akhirnya ia pindah sekolah ke sekolah Inggris yang ada di Hong Kong, di sekolahnya yang baru ini memang cukup sekular, dalam artian tidak begitu mempermasalahkan agama, tetapi tidak sedikit murid-muridnya masih bersikap rasis, dalam hal ini Anita Moorjani memang berkulit legam dan rambutnya ikal beda sekali dengan orang-orang Eropa. Anita Moorjani pun akhirnya sempat berpikir untuk berhenti kursus keagamaan yang dianjurkan orang tuanya, ia ingin bebas, dan memang dalam hatinya sendiri kadang timbul tanya, apakah dirinya benar-benar ingin menjadi orang Hindu? Ya, masa kecil dan remajanya memang diliputi dengan nuansa lingkungan yang berpeda-beda, tetapi hal itu tetap menyenangkan bagi Anita Moorjani, hanya saja kadang ia berpikir mengapa yang lain tidak bisa setoleran dirinya.

Memoir ini juga mengisahkan tentang percintaannya, juga perjalanna karirnya, hingga pada April 2002 dia didiagnosa mengidap kanker, beberapa tahun ia berusaha untuk berobat, mulai dari pengobatan Barat maupun Timur, ia lakukan. Ada yang gagal, ada pula yang berhasil, tetapi hampir semuanya bersifat temporer. Sampai pada akhirnya ia mengalami pengalaman mati suri yang memukau pada dini hari 2 Februari 2006, dan pada petang 3 Februari 2006, Anita Moorjani sadarkan diri... sampai kemudian sembuh total dari kankernya dari hari ke hari...

Bukunya tidak sebatas berisi latar belakang dia, tetapi juga usaha keras dia dan suami serta keluarga dalam mencapai kesembuhan. Dan tentu saja, yang menarik adalah apa yang dia ungkapkan saat mengalami mati suri itu... Di mana, karena hal itu kemudian banyak terjadi perubahan pada dirinya, selain kesembuhan yang diperolehnya, aspek spiritualitas Anita Moorjani lebih meningkat dari sebelumnya, dalam hal ini tidak spesifik kepada agama tertentu karena lebih pada nilai keuniversalan. Ia semacam mendapatkan dorongan untuk "mendakwahkan" apa yang dialaminya itu, tentang cinta kasih--suatu hal yang juga pada dasarnya diseru oleh sekalian agama yang ada di bumi ini. Tetapi dalam banyak kesempatan untuk berbagi pengalaman di ruang publik ia selalu mengatakan bahwa apa yang dibawanya bukanlah agama baru, dan ia bukanlah nabi atau seseorang yang mendapatkan wahyu. Sebab tentu saja, sebagaimana juga saya, saat melihat sampul buku ini terbetik pikiran: "Apakah perlu mati suri dulu untuk menemukan diri sejati?"  \^O^/

Memoir Anita Moorjani adalah sepercik air penyegaran, agar kita kembali tersadar kepada esensi hidup dan kehidupan. Di mana, sehat tidak sekadar fisik yang terhindar dari makanan atau pun zat berbahaya, tetapi juga aspek psikologis harus sehat--tidak pendendam, gelisah, penakut, dan hal negatif lainnya. Istilah kasarnya, banyak dari kita memang hidup malah nyari penyakit, bukannya penyakit mencari kita. Dan dengan memoirnya ini, Anita Moorjani sedikit memberikan perspektif pandangan hidup, namun ini bukanlah saran medis. Pada bagian bab 18 ada bagian Pertanyaan dan Jawaban, di sini banyak pertanyaan-pertanyaan yang mungkil muncul saat membaca memoir tersebut dan Anita Moorjani menjawabnya dengan singkat, padat mengena. Namun, buku ini bukanlah panduan untuk sembuh dari kanker, tetapi memotivasi untuk sembuh adalah mungkin. Karena menjadi diri sendiri adalah kunci menemukan kekuatan terhebat yang memang ada dalam diri kita. Apakah power itu? Dalam buku tersebut Anita Moorjani menjelaskannya dengan terang... dan itu tidak lepas dari perihal be yourself!

Pada akhirnya orang yang mati suri tidaklah satu dua, dan setiapnya pasti memberikan pengalaman berbeda. Termasuk juga kisah yang dijabarkan oleh Anita Moorjani, bahasanya sederhana... lembut... dan mudah dicerna... Salut dengan tim penerjemahnya dalam memilih padanan katanya. Pun dari pihak Penerbit Serambinya, buku yang dicetak pertama pada Oktober 2013 dengan tebal 336 ini disajikan dengan apik, jadi enak dan nyaman dibacanya. (^-^)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar