Setiap
perjalanan selalu disertai pertanyaan-pertanyaan. [Rindu, hlm. 222]
PERJALANAN, sepertinya menjadi
“takdir” mutlak setiap manusia di muka bumi ini, dari sejak adanya pendahulu
kita sampai ke masa kini. Layaknya yang pernah terjadi di masa lalu, di suatu
lembah, yang sebelah timurnya berbatasan dengan laut Merah serta dataran
Tihamah dan Nejed, yang selalu dibanjiri cahaya matahari. Seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang menggendong buah hatinya, berhenti dari suatu
perjalanan. Kemudian, muncullah pertanyaan-pertanyaan.
Ketiga orang itu tentu saja pembaca
ketahui, mengingat nama mereka tersohor hingga kini, siapa lagi kalau bukan
Ibrahim, Hajar, dan bayinya yang diberi nama Ismail. Dari perjalanan mereka
bertiga kemudian banyak muncul aneka peristiwa yang dikemudian hari menjadikan
banyak manusia mengalami panggilan kerinduan untuk melaksanakan undangan
perjalanan, ke suatu lembah yang berdiri di tengahnya suatu rumah yang penuh
kerahmanan dan kerahiman, yang kita sebut dengan Ka’bah, Baitullah.
Sedangkan undangan perjalanan
tersebut dikenal dengan istilah haji. Sejak diserukannya untuk pertama kali,
banyak manusia yang datang dari segenap penjuru yang jauh, baik berjalan kaki
maupun menggunakan unta (re: sarana transportasi) [Q.S. 022: 27]. Di mana hal itu
berlangsung hingga sekarang, bahkan saat Indonesia masih berjuluk Hindia
Belanda, banyak umat Islam yang jua melakukan perjalanan penuh kerinduan itu.
Di zaman itu, naik haji adalah
perjalanan berbulan-bulan. Penuh perjuangan, penuh airmata keharuan, penuh
airmata keinsyafan. Mengorbankan waktu, harta, bahkan dalam banyak kasus, juga
nyawa. Jamaah yang berangkat membawa pertanyaan-pertanyaan masing-masing. Baik
yang menyadari benar apa pertanyaannya atau hanya tersirat dalam doa-doa.
[Rindu, hlm. 222]
Begitulah, barangkali, pijakan yang
kemudian menghasilkan suatu tulisan berupa novel yang bertutur tentang kisah
beberapa anak manusia yang tengah menempuh perjalanan suci ke bumi Mekah. Suatu
kisah, yang oleh Tere Liye selaku penulisnya dibubuhi judul “Rindu”.
Syahdan, “Hari itu, 1 Desember 1938,
sebuah perjalanan besar dimulai” [Rindu, hlm. 13], setelah sebuah kapal besar
milik perusahaan logistik dan transportasi asal Belanda berlabuh di dermaga
pelabuhan Makassar. Dan kapal itu bernama Blitar Holland. Pembaca mungkin
sedikit banyak akan teringat pada Titanic ataupun Van der Wijck, hanya saja
nasib Blitar Holland tidak seburuk keduanyanya itu, walaupun pada beberapa
waktu dalam perjalanannya mengalami hari-hari yang berat. Sungguh pun karya
manusia itu canggih, laut tidak pernah dapat diduga kekuatannya.
Pada awalnya, Blitar Holland tidak
diperuntukkan untuk alat transportasi pengangkut jemaah haji, sebagaimana
umumnya perusahaan kapal Belanda, umumnya mereka mengangkut rempah-rempah,
tetapi, melihat tiap tahun selalu meningkat peminat jemaah haji, dan hampir
setiap tahun ada terus tak peduli musim dan depresi ekonomi apapun, para
tamu-Nya, selalu ada. Maka Blitar Holland pun dialihfungsikan mengingat “lebih
menguntungkan mengangkut manusia,” ujar kapten kapal, Philips.
Cerita pun bergulir, hingga para
jemaah haji dari Makassar hingga Banda Aceh akhirnya terangkut semuanya. Dan
begitulah, pada waktu itu, kapal memulai mengangkut jemaah dari Indonesia
bagian Timur, utamanya Makassar, di mana mereka yang dari Ternate harus lebih
dulu sampai di dermaga sebelum Blitar Holland tiba. Diteruskan kemudian kapal
menyusuri pelabuhan-pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa, seperti Surabaya
dan Batavia, dan dilanjutkan ke pantai bagian barat Sumatra sampai kemudian
tiba di Serambi Mekah, Aceh Darussalam. Di setiap pemberhentian, senantiasa
menorehkan kisah tersendiri, baik itu sekadar berupa informasi ataupun intrik
dari para penumpang maupun para kelasi.
Hal itu tampak misalnya saat di
pelabuhan Surabaya dan Batavia, di mana transportasi pada masa itu sudah
terdapat yang namanya trem, dan hal itu sangat membantu pada masa itu. Tetapi,
jika melihat setting tahun cerita “Rindu” ini berlangsung memang tidak
lepas dari yang namanya huru-hara, perjuangan dan perlawanan pribumi yang
militan terhadap penjajah Belanda, sampai-sampai seorang penumpang yang masih
kanak-kanak harus terjebak dalam baku tembak, kalau saja kemudian tidak ada
seorang kelasi yang bernama Ambo yang menolongnya, mungkin gadis bernama Anna
itu sudah tercerai dari dunianya yang senantiasa ia isi dengan kecerian dan
kepolosan itu.
Tentu saja tidak hanya saat di
pelabuhan, saat di kapal pun beberapa penumpang kerap bersitegang dengan
petugas keamanan Belanda, untung saja tidak semua orang Belanda itu serigala.
Hal itu memang tidak lepas dari adanya para penumpang yang memang memiliki
latar belakang pendidikan yang tinggi, sehingga laik disebut cerdik pandai,
yang dikhawatirkan oleh pihak Belanda akan melakukan makar terhadap eksistensi
Hindia Belanda.
Dan, sebagaimana umumnya suatu
cerita, memang berkelindan pada beberapa nama, begitu pula dalam “Rindu”-nya
Tere Liye ini, dan nama-nama tokoh itu antara lain Daeng Andipati, Gurutta
Ahmad Karaeng, Bonda Upe, dan Ambo Uleng, yang menjadi pusaran lautan
ceritanya. Menjadikan kisah dalam suatu cerita
berpilin dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan itu sendiri.
Ah!
Kesemuanya itu rasanya kita sekalian sedikit banyak merasakan betul pergulatan
batinnya tersebut. Di mana seluruhnya pada akhirnya berujung pada
pertanyaan-pertanyaan soal cinta sejati, kebahagian sejati, kedamaian sejati,
serta perjuangan hakiki, namun kesemuanya itu tentu saja tidak lepas dari suatu
cerita yang melatarbelakanginya. Di mana kerap kali yang masa lalu senantiasa
menjadi benalu yang masa kini. Dalam hal ini, pencarian solusi menjadi penting,
dan lebih penting dari itu adalah bertanya pada orang yang tepat dan mengerti,
terlebih dapat dipercaya. Sebab bagaimana pun, selalu ada yang rahasia dari
setiap persoalan kehidupan kita masing-masing, yang kemudian saling memperkaya
khazanah masing-masingnya.
Tetapi, tidak setiap pertanyaan
punya jawaban yang pasti. Beberapa justru hanya butuh penerimaan saja. Dan di
tengah aneka konflik yang pahit itu, pembaca diberikan “selingan kehidupan”
para jamaah cilik, tentang bagaimana mereka bersikap atas segala aneka sikap
orang dewasa, dan tentang kesehariannya bersekolah di atas kapal, sempat ada kegiatan belajar di ruang kantin kapal, mengingatkan saya pada mata kuliah manajemen jasa makanan dan gizi. Banyak hal
yang akan mengundang bius senyum pembaca, terlebih karena ada pula pasangan
pasutri yang sudah sepuh, yang memberikan gambaran bagaimana itu yang namanya
keluarga yang bahagia. Dan dalam hal penyajian fragmen anak-anak rasanya Tere
Liye tidak diragukan lagi memang piawai dalam hal itu.
Apakah rindu mereka itu kemudian
berujung temu? Ini memang lebih rumit dari sekadar kangen semata. Karena
sebagaimana perjalanan, sekalipun itu di jalan tol, kerap kali ada kemacetan,
bahkan kecelakaan lalu lintas. Maka, jangan dikira bahwa perjalanan kapal
Blitar Holland itu lancar-lancar saja, sebagaimana diungkap di muka, hari-hari
buruk pun sempat menghantui. Mulai dari kerusakan mesin, adanya penumpang yang
meninggal dunia yang harus dimakamkan dengan jalan ditenggelamkan ke laut yang
membuat banyak kesedihan menggantung di kabin-kabin kapal, sampai terjadinya
“penjagalan” kapal yang kemudian dapat dibalikkan keadaannya, ini termasuk
bagian yang paling heroik yang menarik menurut saya. Soal akhir, sebagaimana
umumnya niat baik, Insya Allah selalu berakhir dengan kebahagiaan.
Hadirnya “Rindu” ini memang sangat
relevan dengan serangkaian ritus yang kita lalui, yakni perayaan iduladha, di
mana, di bulan ini, prosesi haji dilaksanakan. Tetapi tentu saja kita akan
bertanya-tanya mengapa kemudian penulis mengambil setting justru pada
tahun sebelum kemerdekaan, dan bukan pada masa yang sudah canggih seperti
sekarang ini, di mana para jemaah haji sampai-sampai bisa—atau bisa-bisanya!—selfie
dengan hajar aswad? Saya tidak dapat menduga-duga modus sebenarnya dari
keberadaan suatu karya, tetapi dari dialog salah satu tokoh, sepertinya penulis
menyisipkan sesuatu, bahwa melalui tulisan kita dapat menyebarkan suatu
pemahaman. Kepahaman macam apa yang kemudian hendak disampaikan? Tentu saja
setiap pembaca dapat mengambil poin yang berbeda tergantung kacamata bacanya
masing-masing, tetapi menurut hemat saya ini adalah sebagai bentuk pengingat
pada kita sekalian tentang pentingnya masuk ke dalam proses “perjalanan” secara
total. Dan semacam kritik, yang bertanya secara tidak langsung, apakah kemudian
yang menempuh haji pada masa kini itu karena kesungguhan atau sekadar wisata
(rohani)?
Pertanyaan itu tentu saja hanya bisa
dijawab oleh pribadi masing-masing. Tetapi dalam kesempatan ini saya memang
harus jujur, karena tamu-tamu Allah dalam cerita “Rindu” ini—khususnya yang
mendapat fokus—memang orang-orang yang keren!, dalam artian memang orang-orang
yang bersungguh-sungguh menempuh jalan ketaatan, di samping mereka memiliki sisi kelamnya tersendiri. Hal itu terlihat pula dari
penunjuk waktu yang selalu mengambil bentuk waktu-waktu salat, saya kira ini ada
untungnya juga bagi pembaca, mengapa? Sebab jikalau saat membaca bertepatan dengan waktu salat maka seyogyanya ditunda terlebih dahulu untuk kemudian salat karena banyak bagian dari “Rindu” ini ialah memenuhi
kerinduan panggilan-Nya, bukankah azan adalah panggilan-Nya jua?
Akan tetapi, sebagaimana peribahasa
tidak ada gading yang tak retak, “Rindu” ini pun begitu adanya. Di beberapa
bagian saya masih menjumpai adanya kesalahan pengetikkan nama tempat maupun
nama tokoh, termasuk perihal tahun, seharusnya 1938 malah 2013. Dan adanya
huruf ganda pada suatu lema, termasuk masih kurang konsistennya dalam
menggunakan kata baku berdasarkan KBBI, utamanya pula terkait kata-kata istilah
keislaman yang sebenarnya sudah ada bentuk serapannya yang baku. Pun adanya
kata yang tidak dispasikan. Ini memang hal-hal teknis, tetapi tidak banyak dan
tidak terlalu mengganggu. Dan pada hlm. 501, saya temukan baris yang cukup
“metaforis”, kantin tertawa sejenak. Juga dijumpai beberapa baris syair
yang melipur. Selebihnya, gaya tutur dari seorang Tere Liye tetap menjadi suatu
khas.
Akhirul kata, novel yang diterbitkan
oleh Republika Penerbit ini, sudah dapat pembaca peroleh di toko-toko buku
terdekat, dengan tebal 544 halaman
dengan ISBN 978-602-8997-90-7, Cetakan Pertama, Oktober 2014,
dengan ukuran huruf yang tidak kecil tidak besar, enak dibaca. Walaupun agak
disayangkan, karena adanya halaman kosong di tiap bab baru (walaupun tidak
semua), yang seharusnya bisa diefisienkan, dengan sistem bulak-balik saja. Pada akhirnya memang, menjadi
suatu kado tersendiri bagi umat Islam yang baru saja merayakan kurban. Semoga
dengan membaca “Rindu” ini, kita dapat lebih menyadari aneka pertanyaan kita
masing-masing dalam hidup ini, dan barangkali dari pertanyaan-pertanyaan serta
jawaban-jawaban alternatif dalam “Rindu” tersebut, sedikit banyak dapat menjadi
bahan berpikir dan mengukir. Demikian ulasan saya, kurang lebihnya mohon maaf.
[]
Novel barunya Tere Liye ya? Saya pernah baca yang Semoga Bunda Disayang Allah, itu menarik. Kayaknya agak ada kesamaan, soalnya menyinggung soal kapal juga, walaupun sekilas. Di novel tersebut lebih jelas ya, dan sepertinya beraroma sejarah gitu kalau lihat setting tahunnya. Terakhir ke toko buku belum lihat buku ini, tapi justru kumpulan sajaknya Tere Liye yng terbaru tuh.
BalasHapusYap ini novel barunya bang tere liye. kalau kumpulan sajaknya kurang begitu suka, kayaknya lebih cocok jadi novelis aja sih. Soal settingnya emang informatif, jadi banyak bagian napak tilas sejarah bangsa... khususnya beberapa nama masyhur dari ranah Bugis... yang pada akhirnya upaya berseru bahwa kemerdekaaan adalah hak segala bangsa....
HapusProduktif banget ya novelis yang satu ini...
BalasHapusHehehe, novelis yang satu ini memang produktif banget, malah banyak karyanya jadi bestseller! Kadang heran, tapi itulah "mukjizat" atau keajaiban tulisan :D
HapusKunjungan balik, terima kasih telah berpartisipasi dalam kuis #EmEmCe : Merangkai Kata. Jawaban telah kami terima... Happy blogging...
BalasHapusTerima kasih, Mas. Wish me luck :)
Hapuskeren reviewnya.. jadi pengen beli bukunya.
BalasHapusAyoooo segera ke toko buku terdekaaat gusmaaan
Hapusatau mau pesen sini hehehe tapi plus ongkir yaaa hahaha :p
Buku Tere memang ciamik
BalasHapusSaya beberapa kali membeli untuk hadiah GA
Terima kasih reviewnya yang bermanfaat
Salam hangat dari Surabaya
Amin... nggak sabaran ikutan GA-nya deh kalau gitu Pakde hehehe
HapusSalam hangat juga dari anak Garut di Bogor ^^
Kunjungan malam, maaf belum sempet baca artikelnya soalnya bnyk tugas hehe, ijin bookmark dulu hehe
BalasHapusGpp, makasih ya sudah dibookmark, dishare juga gpp hehehe
Hapuskeren juga nih cerita nya, sangat menginsirasi, makan gan atas ulasannya yah
BalasHapussalam kenal ya gan & salam hangat dari palembang
Wah dari palembang ya? Enak banget tuh empek-empek hehehe
HapusMakasih ya sudah berkunjung salam kenal juga...
Review bukunya lengkap, tergambar perjalanan fisik dan bathin dari buku dengan jelas, penasaran ingin baca bukunya.
BalasHapusMakasih kak Ysalma...
HapusIya... kalau sempat ke toko buku, bagus juga novel iini masuk dalam list belanjaaan... hehehe
reviewnya komplit ini..tinggal nyari bukunya..hehehe.. jd ingat kisah org2 yg berhaji di jaman itu..perjalanan haji bisa ditempuh 40 hari lamanya dgn kapal laut..beda dgn sekarng.. semua serba wuuzzzz....hehehe
BalasHapusMet nyari ya Mas Aldino... Iya, lama banget zaman dulu itu. Bukunya Henri Chambert-Loir yang judulnya Naik Haji di Masa Silam Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 ya? Hehehe emang keren, tapi belum kebeli.... hihihi baru baca di tokbuknya aja
Hapussipp
BalasHapusMakasih Mas Jumadi Safar...
HapusSipp.. keren resensinya..
BalasHapusPernah baca kisah sang penandai? nah tu novel mirip banget sama novel Rindu ini. latarnya sebuah perjalanan dgn menggunakan kapal, cuman novel sang penandai lebih fiktif...
keep writting mas, tar boleh yaa mampir di tulisanku, tapi skrg belum di publish coz masih banyak ide-ide yang belum terkoordinir di tulisanku hehe..
Sang penandai? Karangannya siapa ya? Maaf aku baru denger mas hehehe
HapusOk oke ntar mampir :)
Banyak banget yang bilang Tere Liye bagus tapi saya belom pernah baca euy. Menarik kayaknya buku yang ini..
BalasHapusSebenarnya relatif sih, tapi memang ada plus minusnya. Baiknya sesekali sempatkan baca :)
HapusReviewnya keren banget. Saya menikmatinya seperti menikmati cake coklat yang lezat. Tak mau cepat habis, jadi saya nikmati review ini perlahan agar tak ada satu kalimat pun tercecer. Suka sama pemaparan dan bahasa yang dipakai.
BalasHapusTerima kasih Bunda Ika
HapusI love cake coklat too hehhee
Rivew nya menarik, bisa menjabarkan dengan sederhana alur yg dibangun si pengarang dengan gaya yg berbeda, sehingga saya yg belum pernah membaca lengkap buku pengarang aslinya pun bisa menggambatkan betapa menariknya buku ini. Jadi tertarik untuk baca buku lengkapnya.
BalasHapusTerima kasih mas Amrillah mesra atas komentarnya..Bukunya sudah ada di toko2 buku jadi mudah untuk didapatkan...Kalaupun mau boleh pinjam punya saya :D
HapusIkutan kontes review yah, Mas?, hehehe.
BalasHapusbagus reviewnya, bikin penasaran ingin membacanya. saya punya tiga buku bang Tere, tapi tidak termasuk Rindu, hihii. pinjam dong, Mas :D
Iya nih Bang Richo, saya lagi ikut ajang meresensi hehehe #doakanaku ya :D
HapusTeriima kasih, masih belajar ngereview kok :)
Saya juga belum punya lengkap karyanya, karena banyak banget.... Sedangkan kalau beli versi banyakannya agak males hehehe
Rindu ini salah satu koleksi
Boleh-boleh, sini-sini kalau mau baca, tapi kalau pinjam jangan lupa balikin ya hahhaa
izin nyimak ya...salam kenal :)
BalasHapussalam kenal jg, thanks sdh mnyimak :)
HapusDahsyaat... Sempat penasaran tentang apa isinya. Awalnya saya kira tentang cerita rindu dua orang insan, ternyata antara dua makhluk tuhan: Manusia dan rumahNya.
BalasHapusSepertinya masuk list buku yang perlu dibaca bulan ini :)
Saya juga sempet kecele nih. Kirain soal sepasang kekasih. Judulnya nge-pop soalnya.
Hapus@Iqbal
HapusIya nih, awalnya juga sempet kepikir begitu. Eh ternyata hehehe tapi bagus gitu sih, jadi kagak ketebak dari luarnya ya. Met hunting dan selamat membacanya
@Anonymous10/16/2014 10:19:00 AM
HapusTapi tetep menarik dibaca, kan? :p
komplit reviewnya. Tere Liye termausk yang produktif juga ya :)
BalasHapusIya produktif banget... jadi pengen kayak dia deh... dari segi aspek produktifitasnya :) btw thanks ya
HapusBoleh juga nih resensinya nggak terlalu muja muji, seimbanglah.
BalasHapusMakasih, Sutisna^^
HapusAda typo nya ya, editornya pas lagi ngantuk jadi kurang teliti hehehe
BalasHapus@rahmi 10/17/2014 01:02:00 AM
BalasHapusHehehe bisa jadi tuh...
Saya juga lagi baca novel ini.
BalasHapusSuka dengan tulisan-tulisan Tere Liye :)
selamat membaca yah, saya juga suka :D
Hapusmantap reviewnya, beli ahhhhhhhhhh, :D :D
BalasHapusTerima kasih, selamat Hunting novelnya yah :)
Hapusaku juga penyuka novelnya tere liye....wah bagus banget nih resensinya....jadi kegambar semua isi tentang cerita novelnya...tapi masih penasaran sih sama novelnya...jadi pengen beli...
BalasHapusMakasih, Rikk...
HapusAyo beli beli, jangan malas baca ya hehehe
Rencana mau beli buku ini juga....bagus kayaknya nih novelnya....
BalasHapusHai Marlita
HapusInsya Allah, ada suatu hikmah yang dapat dipetik dari novel tersebut :)
Wah asyik juga ya baca resensinya
BalasHapusMeski nggak baca bukunya, karena bahasanya yang gamblang
dan sederhana, membuat kita mudah memahami alur ceritanya
novel ini memberikan gambaran tentang salah satu ritual keagamaan
yang sarat makna bagi kehidupan. salut buat resensatornya
Makasih teh iis :)
HapusGaya bahasa dalam resensi ini sangat komunikatif dan memikat sehingga pembaca tertarik untuk membaca novelnya
BalasHapusTerima kasih, Anton :)
HapusBagus nih novelnya...makasih yah udah dibikinin resensinya komplit....
BalasHapusIya, Hidayat
Hapus:D
Sama-sama ya...
Covernya sederhana, tapi isinya sungguh tak sederhana. Menarik untuk dibaca hingga tuntas. Dan, semestinya kesalahan-kesalahan teknis sudah tak perlu ada karena penulisnya sudah banyak karyanya, tapi benar, tak ada gading yang tak retak. Hmm, jadi kepengen membacanya secara langsung.
BalasHapusTere Liye sangat populer sekali, suka dengar orang membahas itu. Baru tau setelah baca artikel ini
BalasHapusmasih agak males dengan novel ke "baperan"
BalasHapus