Kebutuhan
Hidup Layak—selanjutnya disingkat KHL—seringkali menjadi bahan perbincangan
dijelang pergantian tahun, mengingat sejak diluncurkannya UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam
penetapan Upah Minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4 di mana selain
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, KHL menjadi dasar bagi pemerintah dalam
menetapkan Upah Minimum yang akan diterima oleh buruh. Dalam pasal 1 ayat 1
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2012
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan KHL: “adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup
layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.” Dalam hal ini, jenis
kebutuhan yang tercantum pada standar KHL itu dapat berubah, kecenderungan yang
ada adalah selalu bertambah, misalnya pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
17 tahun 2005 KHL hanya terdiri dari 46 jenis kebutuhan, sedangkan dalam
peraturannya yang terbaru No. 13 Tahun
2012 menjadi 60 jenis kebutuhan.
Pengubahan
jumlah jenis kebutuhan tersebut tidak serta merta atas dasar inisiatif dari
pemerintah, mengingat setiap tahunnya para buruh selalu menuntut penambahan
jenis kebutuhan dalam KHL tetapi faktanya penambahan jumlah jenis kebutuhan
tidak selalu dilakukan setiap tahun walaupun tuntutan untuk itu selalu ada. Ini
dikarenakan KHL tidak hanya ditentukan oleh buruh tetapi suatu dewan yang
disebut Dewan Pengupahan yang mana tidak hanya terdiri dari buruh—dalam hal ini
buruh diwakili oleh pengurus dari serikat buruh—jumlahnya pun tidak banyak bila
dibandingkan dengan perwakilan dari asosiasi para pengusaha, pihak netral
semisal akademisi dan para pakar—misalnya ahli gizi—serta dari pemerintah.
Keputusan pun biasanya diambil secara voting, dan hal ini seringkali membuat
pihak buruh itu tidak memiliki daya tawar yang besar.
Selain
itu, seringkali proses atau pelaksanaan survei yang dilakukan oleh Dewan
Pengupahan tidak sesuai sehingga antara hasil survei dengan riil yang
pengeluaran oleh buruh berbeda, contoh kasus Dewan Pengupahan melakukan survei
kebutuhan makanan dan minuman di pasar tradisional sedangkan para buruh
biasanya tidak sempat pergi ke pasar pagi hari, walaupun itu jauh lebih murah,
buruh lebih memilih belanja di warung-warung terdekat yang harganya jelas
memiliki selisih yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga di pasar, dan jika
pun kemudian buruh memilih membeli ke pasar tradisional sepulang kerja, maka
yang didapatnya adalah kualitas jenis kebutuhan makanan dan minuman yang tidak
lagi segar (kualitasnya menurun)..
Tidak
hanya itu, apa yang ada dalam KHL dibuat hanya untuk buruh yang masih lajang,
sehingga bagi buruh yang sudah berkeluarga maka pendapatan yang mengacu pada
KHL jelas kurang, apalagi jika yang menjadi “buruh” (baca: yang bekerja) hanya
suaminya saja maka beban pengeluarannya menjadi lebih besar. Itu memang tidak
adil, di mana pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak mengundangkan KHL bagi buruh yang
berkeluarga, hanya bagi pekerja yang masih lajang baik laki-laki maupun
perempuan. Solusi yang diberikan oleh pemerintah hanyalah dengan dilakukan perundingan
bipartit antara pihak buruh dengan pengusah pada masing-masing perusahaan.
Namun tetap saja, pada realitanya pengusaha selalu mengacu pada peraturan KHL
yang untuk buruh lajang, bahkan beberapa menetapkan upah di bawah upah minimum.
Padahal KHL itu dikatakan sebatas jaring pengaman sosial semata bagi para
tenaga kerja lajang yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Hal itulah yang
menyebabkan sering kali terjadi demo buruh yang mengakibatkan banyak perusahaan
yang berhenti berproduksi dikarenakan para buruhnya melakukan mogok kerja.
Disebutkan
bahwa kebutuhan kalori seorang buruh per hari adalah 3000 kkal, itu ada dalam
peraturan yang mana dikatakan berdasar pada pertimbangan pendapat para ahli,
dan kebutuhan fisik minimum, sehingga agar buruh tetap sehat dan dapat berkerja
maksimal dalam sehari ditetapkanlah nilai tersebut. Padahal, penilaian
kebutuhan kalori di tempat kerja atau gizi kerja setiap individu berbeda-beda
ini pun dipengaruh tidak hanya faktor usia dan berat badan tenaga kerja tetapi
juga tingkat kegiatannya; ringan, sedang, ataukah berat, dan juga waktu kerja
yang sering dilupakan karena pada beberapa industri, mereka melakukan produksi
pada malam hari atau jam kerjanya melebihi jam kerja pada umumnya. Sehingga
kalori yang dibutuhkan per hari setiap tenaga kerja bisa jadi lebih atau bahkan
kurang dari nilai tersebut. Namun, itulah nilai minimum yang telah disepakati.
Bagaimana
dengan KHL dengan negara lain? Jika membandingkan Upah Minimun yang diterima
buruh di Indonesia jelas jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Upah
Minimun di negara lain misalnya dengan Jepang atau negara Asia Tenggara pada
umumnya, tetapi pada beberapa negara yang miskin—bukan negara berkembang
seperti Indonesia—Upah Minimun Indonesia jauh lebih tinggi. Tetapi hal itu
tidak menjamin upah yang tinggi menjadikan buruhnya jauh lebih layak hidupnya
dibandingkan dengan buruh di Indonesia, karena nilai dari KHL itu dipengarungi
tidak hanya ketersediaan jenis kebutuhan di pasaran tetapi juga nilai inflasi,
nilai tukar mata uang di negara tersebut. Ini bisa dibuktikan bahwa masih kita
dapati buruh di luar negeri yang melakukan demontrasi yang sama seperti di
Indonesia, yang mana mereka menuntut kenaikan upah di mana berarti peningkatan
standar kebutuhan hidup layak.
Pada
akhirnya, istilah standar Kebutuhan Hidup Layak memang memberikan angin segar
di mana berarti bila segala kebutuhan yang 60 jenis itu terpenuhi maka seorang
buruh dapat dikatakan layak hidupnya sehingga mencapai kata sejahtera. Ini
tentu harus disertai itikad yang sungguh-sungguh oleh Dewan Pengupahan baik di
tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota
agar melakukan survei yang tepat dan cermat agar nilai KHL yang ditetapkan
sesuai dengan nilai yang riil. Agar pendapatan buruh dapat memenuhi minimal
ke-60 jenis kebutuhan standar KHL tersebut. Dan perusahaan dalam hal ini harus
memenuhi nilai yang telah ditetapkan tersebut bagi buruh yang lajang, serta
menjadikan KHL sebagai pertimbangan minimum untuk para buruh yang sudah
berkeluarga agar didapat upah yang sesuai tidak malah kurang. Tentu saja,
selain dari pemerintah dan pengusaha yang harus diingatkan soal pentingnya
memperhatikan kesejahteraan buruh, pihak pekerja pun janganlah terlalu
berlebihan dalam mengajukan komponen jenis kebutuhan dalam KHL, kecuali mereka
dapat meningkatan daya kompetensinya dalam bekerja, karena “upah” itu tidak
sebatas untuk membeli tenaga atau keringat tetapi juga ilmu atau
keterampilan/kreatifitas. Misalnya, apakah setiap buruh memerlukan telepon
genggam dan perusahaan wajib membelikan pulsa bulanan bagi mereka? Jika memang
itu ada kaitannya dengan pekerjaan, tanpa menuntut pun biasanya perusahaan
memang memberikan fasilitas tersebut. Pada akhirnya semuanya harus menyesuaikan
antara kebutuhan minimum dan keinginan yang cenderung maksimum.
***
Sumber
bacaan: Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2012 tentang
Komponen dan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak; Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi, 1983; gajimu.com; tempo.co; investor.co.id;
militanindonesia.org; dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar